Kaltimpedia
Beranda Opini Potret Buram Pers Lokal: Refleksi dari Konoha

Potret Buram Pers Lokal: Refleksi dari Konoha

Oleh: Ekky Yudistira
(Founder konsorsium Media Politika)

DUDUK di beranda dengan secangkir kopi hitam panas, saya termenung menatap desa yang dulu begitu saya banggakan. Konoha, “Desa Tersembunyi di Balik Daun” ini, kini menyimpan ironi yang menyakitkan. Jurnalisme, profesi yang telah saya tekuni hampir satu dekade, sedang sekarat di tempat yang saya cintai.

Sore itu, saya mendapatkan informasi terkait sebuah acara yang mengatasnamakan “edukasi pra-UKW.” Alih-alih menemukan rekan seprofesi yang haus pengetahuan, yang saya lihat adalah wajah-wajah asing dari berbagai ormas, LSM, bahkan anggota partai politik. “Ini pelatihan jurnalistik atau arisan lintas sektoral?” bisik saya pada diri sendiri. Tapi tak ada yang tertawa.

Pulang dengan hati berat, saya menulis refleksi ini. Bukan sebagai pakar media, tapi sebagai salah satu wartawan daerah yang gelisah melihat pilar demokrasi perlahan runtuh di kampung halamannya.

ANTARA IDEALISME DAN PERUT KERONCONGAN

Teman-teman jurnalis saya hidup dalam dilema ini setiap hari. Bahkan wartawan senior yang dulu ditakuti pejabat korup, kini lebih sering terlihat di acara seremonial pemda, tersenyum lebar dengan amplop tebal di saku kemejanya.

“Anak saya tiga, sekolah semua. Kalau saya keras kepala, mereka makan apa?” katanya suatu kali, dengan mata yang tak berani menatap langsung. Saya tak bisa menyalahkannya, tapi hati ini tetap perih.

Media-media lokal kita bergantung pada “kerjasama” dengan pemda. Terjemahan bebasnya: uang untuk tidak mengkritik. Sementara itu, bermunculan “wartawan bodrek” – istilah lokal untuk mereka yang mengaku jurnalis tanpa latar belakang profesional, tanpa media yang jelas, namun punya kartu pers yang entah dicetak di mana.

Di kantor Hokage, ada klasifikasi tak tertulis: media merah, kuning, dan hijau. Merah untuk yang kritis dan “berbahaya” – mereka tidak diundang ke acara penting dan tentu saja tidak kebagian “kue.” Hijau untuk yang selalu manis menulis puja-puji, dan kuning untuk yang masih bisa diatur.

Saya ingat ketika salah satu website pemberitaan lokal Konoha menurunkan laporan investigasi tentang pro kontra penggunaan jalan umum untuk aktifitas hauling tambang dua tahun lalu. Tak hanya serangan DDoS (Distributed Denial of Service), jenis serangan siber yang bertujuan untuk membuat sumber daya komputer, seperti situs web atau server, tidak tersedia bagi pengguna yang sah. Serangan ini dilakukan dengan cara membanjiri target dengan lalu lintas internet yang besar dan berbahaya, sehingga target tidak mampu melayani permintaan yang sah, website mereka pun juga di banned oleh Kominfo negara api.

“Begitulah cara mereka membunuh media kritis,” kata IT media tersebut, saat kami bertemu di kedai kopi pinggir jalan. “Tanpa darah, tanpa suara.”

DEVALUASI PROFESI YANG MENYAKITKAN

Acara pra-UKW yang saya dapati informasinya itu seperti tamparan keras di wajah. UKW yang seharusnya menjadi standar mutu profesi, kini seperti KTP yang bisa didapat siapa saja. Saya melihat Hayu, yang dikenal sebagai tukang peras pengusaha dengan mengatasnamakan wartawan, duduk di barisan depan dengan percaya diri.

“Setelah lulus UKW, kartu pers saya makin kuat,” katanya blak-blakan saat kami ketemu. Saya hanya tersenyum getir. Ternyata sertifikat kompetensi yang kami perjuangkan sebagai bentuk profesionalisme kini menjadi alat legitimasi praktik-praktik memalukan.

Organisasi profesi wartawan di daerah kami seperti kehilangan gigi. Mereka tahu praktik ini salah, tapi entah kenapa diam saja, atau mungkin ikut bermain dalam permainan kotor ini.

KORBAN YANG TAK TERLIHAT: MASYARAKAT KITA

Yang paling menyedihkan, warga Konoha kehilangan haknya mendapatkan informasi berimbang. Kebijakan kontroversial tentang banjir yang menerjang di beberapa tempat di Konoha hampir tak mendapat sorotan kritis di media lokal. Padahal, dampaknya langsung terasa dengan banjir yang melanda tiga tahun lalu.

“Saya tidak tahu ada kenapa tidak diberitakan. Media cuma memberitakan tentang kunjungan, peresmian dan entahlah apa saja itu. Intinya tak ada yang soroti banjir,” kata salah satu petani yang rumahnya terendam, dengan mata berkaca-kaca.

Hati saya teriris. Inilah bukti nyata bahwa kemunduran kualitas pers bukan sekadar masalah industri media, tapi menyangkut hidup mati demokrasi lokal dan kesejahteraan masyarakat.

JALAN PANJANG PEMULIHAN

Suatu malam, beberapa jurnalis muda berkumpul di markas saya. Mata mereka masih menyala dengan idealisme yang saya rindukan. Kami merumuskan langkah-langkah kecil untuk perubahan:

Kami sepakat membentuk konsorsium media untuk mewadahi perusahaan pers dan jurnalis untuk mengurangi ketergantungan ekonomi pada pihak-pihak yang bisa mengintervensi konten. “Daripada mengandalkan amplop, lebih baik kita mengandalkan satu sama lain,” kata Yuris, jurnalis muda yang bersemangat.

Pada pertemuan itu, Diagendakan bakal adanya audiensi dengan Dewan Pers, kami mengusulkan audit menyeluruh terhadap pelaksanaan UKW di daerah. “Biarkan yang tidak layak tersingkir dengan sendirinya,” usul Iwan dengan mata berapi-api.

Kami juga mengagendakan program literasi media di sekolah-sekolah. Mengajarkan anak muda untuk kritis terhadap informasi yang mereka terima. “Jika pembaca cerdas, media abal-abal akan kehilangan pasar,” tambah Roni.

Yang paling penting, kami membangun solidaritas. “Jika satu wartawan ditekan, kita semua harus bersuara,” tekad kami bersama.

Perjuangan memulihkan marwah pers lokal di Konoha memang berat, tapi bukan tanpa harapan. Setiap pagi saat membuka laptop untuk menulis, saya selalu teringat kata-kata mendiang senior saya, juga seorang wartawan:

“Jurnalisme bukan sekadar profesi, tapi panggilan jiwa untuk berbicara bagi mereka yang tak bisa bersuara.”

Konoha, seperti banyak daerah lain di Negara Api, membutuhkan jurnalisme yang berani dan berintegritas. Bukan untuk kepentingan para jurnalis semata, tapi untuk masa depan demokrasi lokal yang sehat. Saat pers bebas bernapas, masyarakat juga akan bernapas lega.

Mungkin butuh waktu lama, tapi saya percaya suatu hari nanti, “Desa Tersembunyi di Balik Daun” ini akan memiliki pers yang menjadi kebanggaan warganya. Dan saat itu tiba, saya ingin masih ada di sini, menulis dengan pena yang tajam dan hati yang lega. (kp)

Join Group Wa Kami Kaltimpedia.com agar tidak ketinggalan berita loker terbaru lainnya

Join now
Komentar
Bagikan:

Iklan