Kaltimpedia
Beranda Kutai Kartanegara Film Sejarah Transmigrasi Tahun 1970 Diputarkan di HUT Maluhu ke-54

Film Sejarah Transmigrasi Tahun 1970 Diputarkan di HUT Maluhu ke-54

Lurah Maluhu, Joko Tri Kuncoro.

Kaltimpedia.com, Tenggarong – Pemutaran film pendek tentang sejarah transmigrasi di Maluhu begitu dinikmati ratusan masyarakat di halaman Sasana Krida Bhakti Maluhu. Kedatangannya bukan hanya sekadar menyaksikan film, namun juga menyemarakkan Hari Ulang Tahun (HUT) Maluhu ke-54, Selasa (21/5/2024) malam.

HUT Maluhu yang dikemas sederhana itu dirangkat dengan festival ingkung, tumpeng, dan pembagian sertifikat tanah. Kemudian dilanjutkan makan tumpeng dan ingkung.

Lurah Maluhu, Tri Joko Kuncoro mengatakan, pembuatan film Maluhu Mengapai Cita hasil kolaborasi antara Kelurahan dan Komunitas Pelem Indie Tenggarong. Proses produksi terbilang singkat, hanya sekitar dua pekan. Mulai dari penulian skenario selama satu minggu, kemudian dilanjutkan pemilihan tempat dan proses syuting film hanya berlangsung selama 4 hari.

“Inisiasi sebenarnya anak transmigrasi juga di RT 12, jadi mereka mengkomunikasikan dengan komunitas pilem indie dan sampai terwujud film pendek ini. Lokasi syutingnya di Maluhu semua,” katanya.

Maluhu Menggapai Cita secara garis besar mengambil kisah nyata sepasang suami istri yang mengikuti program transmigrasi dari pemerintah pusat pada tahun 1970. Alur ceritanya, mulai dari kehidupan di Pulau Jawa, kemudian mengikuti transmigrasi dengan dijanjikan tanah dan sebagainya.

Namun setibanya di kampung bernama Maluhu, janji yang disampaikan saat itu tidak sesuai ekspektasi. Keadaan masih dalam bentuk hutan belantara dan sebuah gubuk kecil yang terbuat dari pelepah aren.

Terjadilah pergolakan sepasang suami istri tersebut. Ada dua pilihan yang harus mereka pilih, tetap melanjutkan hidup di Maluhu atau kembali ke Pulau Jawa. Karena tidak ada ongkos untuk kembali ke Jawa, akhirnya terpaksa bertahan hidup di Maluhu.

Sikap gotong royong sesama warga transmigrasi pun ditampilkan dalam film tersebut. Budaya saling tolong menolong itu telah mengakar sejak dulu hingga ditularkan pada generasi berikutnya.

“Jaman dulu, warga trans hampir semua bergotong royong untuk membikin akses jalan dan itu turun temurun sampai dengan sekarang. Budaya gotong royong itu terjaga dengan baik,” tandasnya. (adv)

Komentar
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Iklan